Selasa, 09 Desember 2008

8 tend kunci



Agar lolos dari jebakan perang harga, mau tidak mau, perusahaan harus memperhatikan tren-tren kunci yang merupakan dampak perubahan teknologi, politik-legal, sosial-budaya, ekonomi dan pasar. Berikut 8 tren temuan MarkPlus yang bermanfaat bagi perusahaan untuk menghindari terjadinya perang harga sekaligus sebagai upaya mencari segmen pasar baru, cara-cara baru mengikat pelanggan, dan teknik-teknik baru mengeksekusi strategi di tahun 2008.

(Insert Exhibit 1)


Tren 1: penetrasi Internet meningkat tajam (teknologi). Jumlah pemakai Internet di Indonesia masih sangat rendah, sekitar 20 juta atau 9% dari total jumlah penduduk Indonesia. Begitu pula tingkat penetrasinya: cuma 8,9%. Parahnya lagi, penetrasi yang rendah itu dibarengi dengan tingkat adopsi teknologi yang juga rendah. Namun, tahun 2008 diperkirakan akan terjadi lompatan penetrasi Internet di Indonesia. Pasalnya, kini beragam fasilitas yang memungkinkan penetrasi internet— warung Internet, Wi-Fi, broadband dan kabel — telah tumbuh demikian cepat. Bahkan, pemerintah juga berinisiatif menyediakan fasilitas hotspot di sejumlah daerah di Indonesia lewat kampanye penyebaran Internet ke desa. Sinyal kuat lainnya adalah pembangunan proyek Palapa Ring. Jika proyek ini selesai dibangun, Palapa Ring akan mampu menyediakan akses telepon dan Internet bagi sekitar 40 ribu desa. Dengan sedikit rangsangan agar masyarakat aktif menggunakan Internet, bisa dipastikan pada 2008 akan terjadi booming Internet.

Tren 2: kebijakan prokompetisi (politik-legal). Sebelumnya, siapa yang pernah membayangkan Garuda Indonesia akan berkompetisi dengan maskapai penerbangan lokal seperti Lion Air, Batavia Air dan Adam Air. Atau, siapa yang pernah membayangkan monopoli Pertamina dicabut yang memaksa perusahaan minyak nasional ini harus bersaing dengan perusahaan minyak asing seperti Shell dan Petronas. Situasi pasar yang berubah drastis telah mendorong pemerintah melakukan berbagai upaya pembaruan sistem birokratis menjadi lebih efektif dan efisien layaknya organisasi bisnis. Kian banyak kebijakan pemerintah yang semakin terbuka dan propasar.

Tren 3: mekarnya desentralisasi (politik-legal). Upaya pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, yang dikenal dengan desentralisasi, mulai menunjukkan hasil. Pasalnya, meski sempat tertatih-tatih lantaran regulasi yang tumpang tindih, desentralisasi beberapa daerah mulai menunjukkan prestasi yang menggembirakan. Sebut saja, Kabupaten Sragen yang sukses menerapkan e-government atau Kabupaten Lamongan yang berhasil menjalin kerja sama dengan Temasek untuk membangun industrial estate dan bandar udara masa depan. Karena dianggap sukses memimpin daerahnya, Untung Sarono Wiyono kemudian dipercaya menjadi Bupati Sragen untuk kedua kalinya. Bagi partai politik, ini jelas sebuah keuntungan. Pasalnya, para pemimpin daerah yang berhasil memimpin daerahnya dapat dijadikan sebagai salah satu vote getter pada Pemilu 2009.

Tren 4: ekonomi populis kepada rakyat kecil (ekonomi). Banyak kalangan memprediksi, satu setengah tahun ke depan pemerintah akan jorjoran menggelar kebijakan ekonomi populis yang memihak rakyat kecil. Tidak ada yang salah dengan perkiraan tersebut mengingat Pemilu 2009 sudah di depan mata. Dalam waktu selama itu, pemerintah tentu tidak ingin kehilangan momentum untuk mengambil hati masyarakat menengah-bawah. Apalagi, jumlah mereka yang berada dalam lapisan tersebut -- segmen C, D dan E -- sangat besar, yakni sekitar 185 juta penduduk. Untuk menarik simpati mereka, mau tidak mau pemeritah harus mengakomodasi kebutuhan golongan menengah-bawah. Tren inilah yang akan terus menguat pada 2008.

Tren 5: kebangkitan komunitas i-Express (sosial-budaya). Kebangkitan “komunitas i-Express” akan menemukan momentumnya pada 2008. Anda ingat Pesta Blogger 2007 yang berlangsung Oktober tahun lalu? Acara tersebut berlangsung sangat meriah dan dihadiri tak kurang dari 500 blogger. Dari situ setidaknya tecermin, kini semakin banyak orang yang ingin mengekspresikan diri. Lewat media seperi blog, yahoo messenger, friendster dan you-tube, mereka ingin berkomunikasi dengan orang lain secara bebas. Kenyataan inilah yang mendorong lahirnya “clash of authorization” atau kondisi di mana semua orang merasa benar, merasa punya otoritas, dan ingin mengomunikasikannya. Pada sisi lain, fenomena ini juga menunjukkan kredibilitas sumber informasi independen lebih dipercaya dibanding sumber berita konvensional.

Tren 6: mendengarkan rumor versus mencari fakta (sosial-budaya). Perlakuan sebagian besar orang Indonesia terhadap informasi ternyata cenderung pasif daripada aktif. Orang Indonesia, misalnya, lebih suka duduk dan mendengarkan informasi dibanding berdiri dan mencari informasi. Tak mengherankan, mereka lebih suka rumor dibanding mencari fakta. Publikasi di berbagai media massa yang mengandung gosip laku keras. Mereka juga lebih suka mencerna informasi yang ringan dari sumber yang ringan pula. Sementara, informasi yang berat -- yang untuk mencernanya perlu mengernyitkan pikiran -- jarang dilirik. Dengan karakteristik seperti itu, wajar bila orang Indonesia sering termakan isu yang tidak jelas. Menjelang Pemilu 2009 diperkirakan akan banyak isu yang dilempar untuk mempermainkan emosi dan membentuk opini masyarakat (test the water). Salah satu yang sudah mengemuka adalah isu mengenai aliran sesat. Setiap perusahaan tentu perlu memperhatikan karakteristik orang Indonesia tersebut dalam merencanakan dan mengeksekusi strategi pemasaran mereka.

Tren 7: daya beli luar Jawa lebih tinggi (pasar). Sepanjang 2007 secara ekonomi masyarakat di luar Jawa lebih beruntung dibanding masyarakat Jawa. Pasalnya, sebagian besar harga komoditas perkebunan, pertanian dan pertambangan yang banyak tumbuh dan diproduksi di luar Jawa seperti karet, kopra, cokelat, batu bara, timah dan kopi mengalami lonjakan harga yang tinggi di pasar internasional. Keadaan ini membuat munculnya gelombang kekayaan bagi daerah-daerah di luar Jawa. Daya beli masyarakat di luar Jawa pun meningkat tajam. Bahkan, Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada 2006 tingkat belanja konsumsi kota-kota di luar Jawa secara umum lebih tinggi dibandingkan kota-kota di Jawa (kecuali di Jakarta). Hal ini membuat para pemasar tidak boleh melewatkan peluang pasar luar Jawa begitu saja.

Tren 8: restrukturisasi segmen mass-market (pasar). Sebagai pemasar, Anda harus berpikir ulang jika ingin menyasar “value-oriented segment” (segmen yang menginginkan kualitas bagus tapi dengan harga yang pantas) yang dari 1998 hingga 2007 diidentikkan sebagai segmen pasar terbesar. Mengapa? Karena tahun 2008, sebagian besar value-oriented segment akan bermigrasi ke bawah menuju price-oriented segment dan menjelma menjadi segmen baru: smart value-oriented segment. Celakanya, di sisi lain, mayoritas price-oriented segment juga akan bermigrasi ke atas membentuk smart value-oriented segment tersebut. Smart value-oriented segment inilah yang bakal menjadi segmen mass-market baru. Secara sederhana smart value-oriented segment ini didefinisikan sebagai konsumen yang menginginkan kualitas bagus tapi dengan harga yang murah.


8 Jebakan Harga

Insert Exhibit 3)


Jebakan 1: deflasi global. Semenjak Cina memproduksi banyak produk murah, ancaman deflasi global mulai menghantui semua sektor industri. Menurut BusinessWeek, ada tiga kata yang kini ditakuti para pebisnis di seluruh dunia: “The China Price”. Sebut saja, industri tekstil yang menghadapi tekanan luar biasa dalam menyaingi produk-produk Cina. Sebelumnya, kehadiran motor Cina juga sempat membuat industri sepeda motor Indonesia mengalami deflasi. Beruntung, situasi tersebut berlangsung sesaat. Kini, beberapa sumber menyebutkan bahwa pada 2008 Cina akan berubah menjadi eksportir inflasi, setelah sebelumnya menjadi eksportir deflasi. Ancaman deflasi global sebenarnya tidak bersifat konstan, tapi akan mendorong biaya produksi yang lebih rendah.

Jebakan 2: perubahan teknologi yang berdampak disruptive. Kini semakin banyak penemuan teknologi baru yang berdampak disruptive, di mana peningkatan performa produk sekaligus diikuti dengan penurunan drastis harga. Lihat, misalnya, kemunculan iPod dan iPhone. Kedua inovasi Apple ini di satu sisi mampu secara drastis meningkatkan performa produk, tapi di sisi lain mampu pula secara drastis menurunkan harga. Akibatnya apa? Produk incumbent yang terkena dampak inovasi akhirnya berdarah-darah, dan hanyut ke dalam kancah perang harga.

Jebakan 3: margin industri yang cukup besar. Studi yang dilakukan MarkPlus ini membagi tiga kelompok industri berdasarkan daya serap margin laba yang mereka peroleh. Industri telekomunikasi, farmasi, kosmetik dan households, rokok, serta batu bara merupakan kelompok industri yang mampu menyerap margin laba terbesar. Sementara itu, industri perminyakan dan gas, makanan dan minuman, keramik, porselen, gelas, otomotif, pertanian, serta konstruksi merupakan kelompok industri yang mampu menyerap margin laba cukup lumayan. Terakhir, industri tekstil, perikanan, kimia, properti, real estat, plastik, semen, makanan hewan, kertas industri, dan kehutanan merupakan kelompok industri yang menyerap margin laba paling tipis. Dari tiga kelompok industri itu, kelompok industri yang margin labanya terbesar paling sering tergoda melakukan perang harga.

Jebakan 4: jumlah pemain yang terlalu banyak. Ada gula ada semut. Itulah prinsip yang muncul dalam dunia bisnis. Begitu ada sektor industri yang cukup menggiurkan mendatangkan laba, maka berbondong-bondong pelaku industri lain datang. Dalam prinsip ekonomi, kehadiran jumlah pelaku industri yang terus bertambah membuat jumlah penawaran melebihi tingkat permintaan pada suatu industri. Akibatnya, strategi perang harga menjadi tidak terelakkan. Lihat bagaimana fenomena ini terjadi di industri seluler, bank, penerbangan atau ritel.

Jebakan 5: pemain berkantong tebal (deep pocket). Momentum akselerasi perang harga di tahun 2008 juga bisa dipicu oleh kehadiran pemain-pemain berkantong tebal di setiap sektor industri. Di industri perbankan, contohnya, bank-bank beraset besar seperti Bank Mandiri, BCA, BNI dan BRI seperti tidak pernah lelah mengampanyekan program undian berhadiah. Bagitu pun yang terjadi dalam industri seluler. Keberadaan pemain besar seperti Telkomsel, XL, Indosat, Esia dan Hutchinson mendorong strategi perang harga seperti tidak ada habisnya. Bahkan, beberapa pemain besar pendatang baru di industri ini sudah menyatakan siap merugi beberapa tahun untuk penetrasi pasar.

Jebakan 6: menurunnya daya beli. Tingkat pengangguran yang masih tinggi sekitar 10,4% pada 2008 serta inflasi yang terus meningkat akibat kenaikan harga minyak bumi menjadi faktor lain yang menyebabkan daya beli konsumen menurun. Namun harus diingat, tidak semua daya beli konsumen turun. Tergantung pada bagaimana kita melihat pasar berdasarkan demografis, geografis dan psikografis. Contohnya, masyarakat di wilayah perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara, atau yang bekerja di kedua sektor industri tersebut. Saat ini boleh dibilang, mereka mengalami peningkatan daya beli yang cukup tajam karena harga komoditas kelapa sawit dan batu bara melonjak tajam. Ini adalah peluang yang bisa Anda manfaatkan.

Jebakan 7: orientasi pangsa pasar. Ini adalah blunder yang banyak dilakukan pemasar, yaitu fokus pada penjualan dan pencapaian pangsa pasar. Bukannya buruk, tapi kalau tidak diikuti dengan fokus pada profitabilitas, dampaknya bisa celaka tiga belas. Lihat bagaimana pemain di seluler yang begitu jorjoran berpromosi, membangun base transceiver station, dan potong tarif tanpa peduli sedikit pun kepada profitabilitas. Begitu juga maskapai penerbangan seperti Lion Air dan AirAsia yang terus memperluas pangsa pasar mereka dengan strategi perang harga. Begitu juga adu pangsa pasar antara sepeda motor Honda dan Yamaha yang sudah demikian membabi buta. Bagi para pemain ini, pangsa pasar telah menjadi momok yang berlebihan sebagai indikator nilai suatu perusahaan.

Jebakan 8: elastisitas harga. Untuk meningkatkan penjualan, para pemasar sering mengambil jalan pintas dengan cara menurunkan harga. Dengan menurunkan harga, mereka yakin penjualan akan meningkat. Dengan asumsi seperti itu, banyak pemasar yang kemudian jorjoran menurunkan harga. Apa yang terjadi di industri telekomunikasi dan penerbangan menjadi bukti kenyataan tersebut. Namun hati-hati, tidak semua produk bisa diperlakukan seperti itu karena dalam teori elastisitas, hubungan antara harga dan kuantitas permintaan tidak selalu elastis. Terdapat kemungkinan lain dalam hubungan antara harga dan kuantitas.

Apakah 8 jebakan tadi telah eksis di setiap sektor industri? Hasil analisis MarkPlus menunjukkan, semua jebakan tersebut telah eksis dalam industri telekomunikasi. Dari jebakan deflasi global hingga elastisitas harga semakin memicu terjadinya perang harga di industri seluler pada 2008 (lihat Tabel Analisis). Sementara, 6 jebakan membayangi industri farmasi, ritel dan elektronik. Terakhir, industri lainnya, seperti rokok, otomotif, penerbangan, makanan dan minuman, serta perbankan, masing-masing dibayangi lima jebakan.



Perang Tarif

Perang tarif operator seluler makin menggila lewat aneka promosi. Ini memberi kesempatan konsumen untuk memilih operator dengan tarif termurah. Tapi jangan sampai terjebak, karena bisa rugikan konsumen.

Perang kini tak hanya berkecamuk di arena pertempuran Afganistan atau Irak. Tapi "perang" juga turut merambah negeri ini sejak setahun terakhir ini. Perang yang dimaksud tentu saja bukan perang yang sesungguhnya, tapi "perang" dari sisi persaingan antar produk, utamanya produk operator telekomunikasi seluler. Mulai dari harga hingga layanan, para operator telepon seluler di tanah air kini bersaing ketat. Bahkan tidak sungkan-sungkan saling menjatuhkan.

Publik konsumen kini banyak digempur kampanye iklan operator seluler di Indonesia. Yang paling kentara tentu saja kampanye iklan yang mengusung pesan tarif termurah produk keluaran setiap operator seluler negeri ini yang kini sudah dimainkan 14 operator telekomunikasi seluler yang baru muncul lagi 2 operator telekomunikais. Tengoklah layar kaca televisi atau media cetak kita, setiap hari atau setiap pekan dipenuhi tayangan iklan operator seluler yang menawarkan tarif termurah gila-gilaan. Mulai dari nol koma sekian rupiah perdetik hingga seribuan rupiah persekian menit, semuanya menawarkan harga termiring di setiap produk yang ada.

Untuk konsumen yang tidak loyal mereka pasti mencoba-coba, mana tarif yang paling murah, mereka dengan mudah beralih ke operator lain yang dianggap memberikan tarif labih murah

Tapi jangan salah dulu, apa yang dilakukan oleh para operator telekomuniasi selular itu adalah strategi marketing dan periklanan, karena pemerintah telah menetapkan tarif termurah dan tarif tertinggi, begitu juga untuk sms suah diatur oleh regulator, maka kita lihat sekarang biaya sms pun turun hapir setengahnya.
Marketing,selling,sales,Pemasaran,Penjualan,Bisnisdankewirausahaan

Mungkin untuk koneksi sesama operator memang untuk biaya sebenarnya tidak ada biaya baik bertelepon maupun sms, biaya yang ada apabila terjadi koneksi antar operator. Disinilah pintarnya para operator, mereka memberikan biaya yang murah apabila bertelepon sesama operator, dari 0 menit sampai 1 jam, 2 jam mereka berani memberikan tarif tetap dan murah, tetapi bagaimana antar operator apakah mereka berani memberikan tarif yang murah ? …..

Marketing,selling,sales,Pemasaran,Penjualan,Bisnisdankewirausahaan

Untuk menarik calon pelanggan memang kreatifitas periklanan sangat diperlukan untuk membujuk konsumen. Konsumen tidak pernah melihat berapa biaya sesungguhnya, yang dia lihat adalah pesan yang disampaikan oleh iklan. Dari 0,5 rupiah perdetik sampai 0,000000 rupiah perdetik, ini sebenarnya adalah bahasa periklanan, untuk bisa menonjokan bahwa merekalah yang paling murah. Dalam pikiran konsumen yang dia lihat adalah angka yang nol nya banyak. Sungguh fantastis perang iklan yang digendrang oleh para operator selular ini.
Apakah ini bisa menarik konsumen untuk beralih ?

Strategi Bertahan Dalam Perang Harga

Perang harga (price war) dalam bisnis pada saat ini merupakan hal yang lumrah. Dewasa ini hampir semua industri terjadi perang harga. Penyebab terjadinya perang harga ini antara lain:

  • semakin banyaknya pemain baru yang masuk ke pasar yang menyebabkan market semakin crowded. Kompetisi yang terjadi di pasar semakin ketat
  • kue dari pangsa pasar yang diperebutkan semakin kecil

kedua hal ini pada dasarnya adalah suppy (penawaran) dan demand (permintaan). Hukum dasar ekonomi adalah jika demand besar sedangkan suppy tetap/turun, maka harga akan naik. Sedangkan jika demand menurun/tetap sedangkan naik, maka harga cenderung akan turun.

Kondisi ini diperparah oleh usaha yang dilakukan perusahaan untuk mempertahankan atau memperpanjang product life-cycle. Kebanyakan perang harga terjadi ketika product life-cycle sudah berada di puncak. Untuk mempertahankan siklus itu tetap berada di puncak/tidak menurun, perusahaan bersedia untuk menurunkan margin usahanya. Lebih baik mendapat kan makin kecil margin usaha ketimbang tidak sama sekali.

Dalam industri telekomunikasi terlihat sangat jelas terjadi perang harga yang sangat mencolok. Pertumbuhan pasar yang semakin menurun, sedangkan pemain yang meperebutkan kue di pasar semakin banyak membuat pelaku industri telekomukasi terlibat perang harga. Kalau dahulu hanya ada tiga pemain utama (Telkomsel, Indosat, dan XL), sekarang medan perang semakin disesaki oleh pemain baru seperti Hutchinson, Bakrie, Bimantara, dan Sinar Mas. Pengguna jasa telekomukasi selularpun semakin tidak loyal terhadap produsennya. Satu pemakai gampang sekali untuk berpindah ke operator lain karena fokus penjualan dari operator selular sendiri lebih banyak ke pra-bayar dibandingkan dengan penjualan pasca bayar. Saya tidak tahu apakah analisa ARPU (Average User Per Unit) masih dapat dipakai karena churn rate yang tinggi ini. Harga sebuah kartu perdana saat ini juga sangat murah sekali, bahkan ada yang diberikan gratis. Saya ingat sewaktu tahun 2000 dahulu saya membeli kartu perdana suatu produk selular dengan harga tiga ratus ribu rupiah lebih, karena langkanya kartu perdana.

Di industri lainpun (meski tidak terlalu kentara dibandingkan dengan industri telko) juga mengalami perang harga. Industri tekstil menghadapi serangan produk China yang masuk dengan harga yang murah, industri penerbangan menjual tiket dengan harga yang murah, industri otomotif dengan perang DP murah, Industri perhotelan di Bandung.

Bagaimana strategi perusahaan untuk bersaing dalam perang harga ini??

  • Temukan segmen pasar baru

Mengapa segmentasi pasar ini diletakkan di awal? Bagaimanapun juga dengan mapping segmentasi pelanggan yang makin jelas, perusahaan pun makin cepat untuk bereaksi untuk memasukkan stimulus (dalam hal ini marketing mix/bauran pemasaran) yang dapat mempertahankan atau bahkan menambah pangsa pasar dari perusahaan. Segmentasi dewasa ini sudah tidak dapat lagi dilakukan hanya dengan mempertimbangkan satu variabel (misal geografis, demografis, pendapatan) semata. Akan lebih dasyat lagi jika perusahaan dapat mengkombinasikan variabel-variabel yang ditemukan berdasarkan survey atau instuisi management.

  • Pertahankan brand anda

Badai pasti berlalu. Dalam perang harga ini, perusahaan harus tetap mempertahankan brand ayng sudah eksis. Komunikasi dengan consumer tetap harus dilakukan. Yamaha di awal-awal tahun 2000-2003 mengalami keterpurukan dalam hal penjualan dan pangsa pasar. Akan tetapi mereka tetap konsisten mengeluarkan dana untuk komunikasi dengan consumernya meskipun dengan jumlah yang dibatasi. Aktivitas pemasaran Above the Line dan Below the line tetap dijalankan oleh mereka. Dan hasilnya terlihat pada 2007, dimana Yamaha dapat menyalip Honda sebagai market leader.

  • Kanibalisme produk sendiri

Strategi ini digunakan dalam industri selular (lebih spesifik ke handset). Daripada produknya diserang terus menerus oleh brand lain, pemain di industri handset ini lebih senang untuk mengkanibalisme produk sendiri. Varian produk yang dikeluarkan sangat banyak, sehingga bisa saja mematikan produk dalam brand sendiri yang telah eksis ditandai dengan product life cycle yang makin singkat. Pertimbangan dalam strategi kanibalisme ini adalah perusahaan harus lebih mementingkan Business Life Cycle. Jika business life cycle turun otomatis product life cycle pun terhenti.

  • Inventory Management

Inventory terlau besar dalam suatu perusahaan termasuk salah satu hal yang membebani perusahaan apalagi jika inventory tersebut ada masa kadaluarsanya. Inventory level dalam perusahaan akan lebih baik tetap dalam level minimum (Zero Inventory). Salah satu perusahan yang melakukan inventory management dengan baik dan mendapatkan competitive advantage akan hal ini adalah Dell. Inventory Dell diletakkan bukan di gudang Dell, tetapi di gudang Supplier. Dell mengatur proses produksi sesedemikian rupa sehingga bisa mempertemukan uncertainty demand dan uncertainty supply dengan dinamis. Contoh lain adalah Amazon. Mungkin di awalnya, inilah satu-satunya toko buku yang tidak memiliki buku.

  • Cost Management

Untuk mempertahankan margin yang sama dengan pendapatan yang menurun akibat perang harga, perusahaan harus dapat menemukan cara untuk mengurangi biaya. Asosiasi pengurangan biaya ini biasanya langsung dikorelasikan dengan mengurangi jumlah tenaga kerja (rasionalisasi/pensiun dini), akan tetapi jika perusahaan bisa berpikir kreatif, sebenarnya masih banyak lagi aspek-aspek pengurangan biaya yang dapat dilakukan. Air Asia adalah contoh perusahaan yang berhasil menerapkan cost management ini dengan baik. pengurangan biaya di darat dengan meminimalisasi ground time, tidak menyediakan makanan gratis di pesawat, maksimalisasi tenaga kerja (pramugari termasuk pula yang membersihkan pesawat disaat jeda, membuat Air Asia dapat bersaing dengan menawarkan harga yang murah kepada konsumennya

  • Revenue Management

Revenue management biasanya dilakukan oleh perusahaan yang supply-nya terbatas. Kamar hotel tidak dapat ditambah atau dikurangi semenjak selesai dibangun, kursi pesawat juga demikian, pun dengan industri restoran. Revenue management (Yield Management) dilakukan dengan cara memberikan tarif yang berbeda disaat peak time dan low time. Di restoran siap saji KFC terkadang kita bisa temui di jam tertentu, kita dapat membeli dengan harga yang lebih murah.

Sebagai penutup, saya ingin mengingatkan bahwa perang harga ini adalah sesuatu yang sulit dihindari. Kompetisi adalah satu hal yang sangat lumrah dalam bisnis. Dalam konsep Blue Ocean Strategy-pun dinyatakan bahwa suatu saatpun Blue Ocean itu dapat berubah menjadi Red Ocean. Red ocean berarti perang harga antar kompetitor. Dan dari semua poin yang saya sebutkan di atas, satu kata kunci dalam menghadapi perang harga adalah dengan Kreatifitas (Creativity). Kreatif dalam operasional, kreatif dalam marketing akan sangat membantu perusahaan untuk bertahan dalam perang harga.