Selasa, 09 Desember 2008

8 Jebakan Harga

Insert Exhibit 3)


Jebakan 1: deflasi global. Semenjak Cina memproduksi banyak produk murah, ancaman deflasi global mulai menghantui semua sektor industri. Menurut BusinessWeek, ada tiga kata yang kini ditakuti para pebisnis di seluruh dunia: “The China Price”. Sebut saja, industri tekstil yang menghadapi tekanan luar biasa dalam menyaingi produk-produk Cina. Sebelumnya, kehadiran motor Cina juga sempat membuat industri sepeda motor Indonesia mengalami deflasi. Beruntung, situasi tersebut berlangsung sesaat. Kini, beberapa sumber menyebutkan bahwa pada 2008 Cina akan berubah menjadi eksportir inflasi, setelah sebelumnya menjadi eksportir deflasi. Ancaman deflasi global sebenarnya tidak bersifat konstan, tapi akan mendorong biaya produksi yang lebih rendah.

Jebakan 2: perubahan teknologi yang berdampak disruptive. Kini semakin banyak penemuan teknologi baru yang berdampak disruptive, di mana peningkatan performa produk sekaligus diikuti dengan penurunan drastis harga. Lihat, misalnya, kemunculan iPod dan iPhone. Kedua inovasi Apple ini di satu sisi mampu secara drastis meningkatkan performa produk, tapi di sisi lain mampu pula secara drastis menurunkan harga. Akibatnya apa? Produk incumbent yang terkena dampak inovasi akhirnya berdarah-darah, dan hanyut ke dalam kancah perang harga.

Jebakan 3: margin industri yang cukup besar. Studi yang dilakukan MarkPlus ini membagi tiga kelompok industri berdasarkan daya serap margin laba yang mereka peroleh. Industri telekomunikasi, farmasi, kosmetik dan households, rokok, serta batu bara merupakan kelompok industri yang mampu menyerap margin laba terbesar. Sementara itu, industri perminyakan dan gas, makanan dan minuman, keramik, porselen, gelas, otomotif, pertanian, serta konstruksi merupakan kelompok industri yang mampu menyerap margin laba cukup lumayan. Terakhir, industri tekstil, perikanan, kimia, properti, real estat, plastik, semen, makanan hewan, kertas industri, dan kehutanan merupakan kelompok industri yang menyerap margin laba paling tipis. Dari tiga kelompok industri itu, kelompok industri yang margin labanya terbesar paling sering tergoda melakukan perang harga.

Jebakan 4: jumlah pemain yang terlalu banyak. Ada gula ada semut. Itulah prinsip yang muncul dalam dunia bisnis. Begitu ada sektor industri yang cukup menggiurkan mendatangkan laba, maka berbondong-bondong pelaku industri lain datang. Dalam prinsip ekonomi, kehadiran jumlah pelaku industri yang terus bertambah membuat jumlah penawaran melebihi tingkat permintaan pada suatu industri. Akibatnya, strategi perang harga menjadi tidak terelakkan. Lihat bagaimana fenomena ini terjadi di industri seluler, bank, penerbangan atau ritel.

Jebakan 5: pemain berkantong tebal (deep pocket). Momentum akselerasi perang harga di tahun 2008 juga bisa dipicu oleh kehadiran pemain-pemain berkantong tebal di setiap sektor industri. Di industri perbankan, contohnya, bank-bank beraset besar seperti Bank Mandiri, BCA, BNI dan BRI seperti tidak pernah lelah mengampanyekan program undian berhadiah. Bagitu pun yang terjadi dalam industri seluler. Keberadaan pemain besar seperti Telkomsel, XL, Indosat, Esia dan Hutchinson mendorong strategi perang harga seperti tidak ada habisnya. Bahkan, beberapa pemain besar pendatang baru di industri ini sudah menyatakan siap merugi beberapa tahun untuk penetrasi pasar.

Jebakan 6: menurunnya daya beli. Tingkat pengangguran yang masih tinggi sekitar 10,4% pada 2008 serta inflasi yang terus meningkat akibat kenaikan harga minyak bumi menjadi faktor lain yang menyebabkan daya beli konsumen menurun. Namun harus diingat, tidak semua daya beli konsumen turun. Tergantung pada bagaimana kita melihat pasar berdasarkan demografis, geografis dan psikografis. Contohnya, masyarakat di wilayah perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara, atau yang bekerja di kedua sektor industri tersebut. Saat ini boleh dibilang, mereka mengalami peningkatan daya beli yang cukup tajam karena harga komoditas kelapa sawit dan batu bara melonjak tajam. Ini adalah peluang yang bisa Anda manfaatkan.

Jebakan 7: orientasi pangsa pasar. Ini adalah blunder yang banyak dilakukan pemasar, yaitu fokus pada penjualan dan pencapaian pangsa pasar. Bukannya buruk, tapi kalau tidak diikuti dengan fokus pada profitabilitas, dampaknya bisa celaka tiga belas. Lihat bagaimana pemain di seluler yang begitu jorjoran berpromosi, membangun base transceiver station, dan potong tarif tanpa peduli sedikit pun kepada profitabilitas. Begitu juga maskapai penerbangan seperti Lion Air dan AirAsia yang terus memperluas pangsa pasar mereka dengan strategi perang harga. Begitu juga adu pangsa pasar antara sepeda motor Honda dan Yamaha yang sudah demikian membabi buta. Bagi para pemain ini, pangsa pasar telah menjadi momok yang berlebihan sebagai indikator nilai suatu perusahaan.

Jebakan 8: elastisitas harga. Untuk meningkatkan penjualan, para pemasar sering mengambil jalan pintas dengan cara menurunkan harga. Dengan menurunkan harga, mereka yakin penjualan akan meningkat. Dengan asumsi seperti itu, banyak pemasar yang kemudian jorjoran menurunkan harga. Apa yang terjadi di industri telekomunikasi dan penerbangan menjadi bukti kenyataan tersebut. Namun hati-hati, tidak semua produk bisa diperlakukan seperti itu karena dalam teori elastisitas, hubungan antara harga dan kuantitas permintaan tidak selalu elastis. Terdapat kemungkinan lain dalam hubungan antara harga dan kuantitas.

Apakah 8 jebakan tadi telah eksis di setiap sektor industri? Hasil analisis MarkPlus menunjukkan, semua jebakan tersebut telah eksis dalam industri telekomunikasi. Dari jebakan deflasi global hingga elastisitas harga semakin memicu terjadinya perang harga di industri seluler pada 2008 (lihat Tabel Analisis). Sementara, 6 jebakan membayangi industri farmasi, ritel dan elektronik. Terakhir, industri lainnya, seperti rokok, otomotif, penerbangan, makanan dan minuman, serta perbankan, masing-masing dibayangi lima jebakan.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda