Selasa, 11 November 2008

Mengukur Effectivitas Iklan

Dalam bukunya berjudul Strategic Brand Management, Keller mengidentifikasikan ada sembilan ben­tuk komunikasi yang dapat dilakukan oleh pengelola merek/produk dengan konsumen­nya, yakni iklan melalui media, iklan respons iangsung, iklan di tempat tertentu, iklan di tempat penjualan, promosi dagang, promosi konsumen, iklan sponsor peristiwa, relasi pu­blik, dan penjualan langsung melalui per­sonal. Dari sembilan bentuk komunikasi tersebut yang paling membutuhLan biaya terbesar adalah iklan melalui media.


Tentang iklan ini ada satu joke menarik di dunia riset iklan. Diketahui bahwa lima puluh persen iklan tidak ada dampaknya, sementara lima puluh persen lagi tidak diketahui cara mengukur dampakuya. Walaupun kata‑kata ini dikemukakan untuk sekedar joke, tetapi di banyak perusahaan memang demikianlah kondisinya. Dari berkunjung dan berdiskusi dengan orang pemasaran di banyak perusahaan di Indone­sia saya menganggap bahwa orang bagian marketing communication memang paling bahagia. Bagaimana tidak? tidak ada satu pun dari orang. orang bagian marketing lain, apalagi bukan marketing. yang akan mengukur performance mereka. Kalau bagian lain jelas terlihat performance-nya, apalagi bagian sales, sedangkan marketing communication hanya ditanyakan tentang program apa yang dikerjakan, budgetnya berapa, bagaimana komunikasi dan visuali­sasinya, terakbir, iklannya bagus apa tidak (inipun feeling dan kesepakatan bersama yang nuansa subjektivitasnya sangat tinggi).

Tetapi apakah joke di atas benar? se­sungguhnya tidak. Saat ini berkembang begitu banyak metode pengukuran yang bisa mengetahui dampak sebuah iklan. Bahkan ada satu peneliti sekaligus pelaku iklan yang pernah melakukan kompilasi bahwa sampai saat ini ada sekitar 456 teori dan metode yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui effektivitas iklan.

Menurut Heirarchy of effect model, dari melihat iklan sampai dengan melakukan pembelian, konsumen selalu mengikuti alur proses yang sangat teratur. Pengambilan keputusan konsumen dalam membeli dan mengkonsumsi produk/merek tertentu diawali oleh awareness atau pengenalan terhadap produk tersebut, kemudian dilan­jutkan dengan pemahaman, ditindak lanjuti dengan tingkat kesukaan dan penilaian lebih baik dibandingkan dengan produk lain dan akhirnya konsumen memutuskan untuk mencoba merek tersebut. Dari model ini disebutkan bahwa proses ini selalu berurutan dan selalu berawal dari proses pengenalan. Awareness sendiri berasal dari ditangkapnya informasi tentang merek dan produk oleh konsumen, baik oleh usaha yang dilakukan oleh konsumen sendiri dalam aktivitasnya (baik sengaja maupun tidak sengaja mencari) ataupun oleh aktivitas proaktif pengelola produk/merek untuk mengkomunikasikan produk/jasanya.

Walaupun sebenarnya ada tiga fungsi iklan, yakni menginformasikan produk/merek, mengingatkan tentang produk/merek dan mempengaruhi target penerima iklan untuk menggunakan produk/merek yang dilklankan, tetapi pada dasarnya tujuan akhir dari iklan adalah perubahan ‘attitude’ dari target penerimanya. Hanya masalahnya seringkali adalah sulitnya mengetahui.

Apabila dilakukan periodesasi atas cara­cara pengukuran efektivitas iklan, ternyata ditemukan perbedaun metode pada empat periode. Yang pertama adalah periode yang mendasarkan evaluasi iklan pada respon langsung yang diwakili oleh Claude Hopkins pada tahun 1922 dengan bukunya scientific advertising. Buku ini dikatakannya sangat mempengaruhi pola pikir David Ogilvy. .

Periode kedua adalah pengukuran tentang pengaruh eksekusi iklan (gambar, suara, dan lain‑lain), dan pemikiran periode ini digunakan oleh Procter & Gamble sampai sckarang. Periode ketiga adalah meng­evaluasi kampanye iklannya sendiri, khusus­nya pada level individu. Pendekatan periode ini diformalkan oleh Russel Colley di bukunya berjudul DAGMAR (Defining Advertising Goals for Measured Advertis­ing Response) methodology (Colley, 1961), yang akhirnya menjadi salah satu model yang sangat terkenal. Sedangkan periode keempat dik:atakannya sebagai research nir­vana yang dikatakannya paling kuat terjadi di daratan Eropa.

Pada tahun 1994 Mehta, yang mendapatkan PhD dari Syracuse University mengembangkan sebuah model yang ditu­jukan untuk mengukur effectivitas iklan, yakni Advertising Response Model (ARM), yang menghubungkan secara langsung antara iklan dengan minat beli. Salah satu penemuan dari penelitian ini adalah bahwa iklan dapat dievaluasi dampaknya ke konsumen tidak hanya secara keselurahan iklan, tetapi termasuk elemen‑elemennya seperti pesan yang berhubungan dengan produk/merek, dan hal‑hal yang berhu­bungan dengan eksekusi iklan dan figur yang digunakan sebagai penyampai pesannya.

ARM sendiri cukup menarik mengingat penelitian‑penelitian tentang iklan pada umumnya berorientasi pada pengaruhnya terhadap brand image, brand salience, recall (starch) dan recognition. Dengan meng­hubungkan antara iklan dan minat beli terbuka peluang untuk menghitung secara kuantitatif atas biaya‑biaya yang dikeluarkan untuk iklan yang selama ini masih menjadi pertanyaan dan dampaknya terhadap pen­jualan (realisasi dari minat beli).

Selain dari klasifikasi cara evaluasi iklan menurut periodenya, sampai saat ini sebe­narnya ada 4 kerangka berfikir tentang pengukuran pengaruh iklan, yaitu:

  • Model berdasar pengaruhnya (response)terhadap penjualan,
  • Model yang memunculkan persuasi iklan pada audiencenya,
  • Model yang mendorong keterlibatan (in­volvement) audiencenya, dan Model yang mendasarkan pada salience (kepopuleran)
  • Model mana yang harus diikuti sehenar­nya sangat tergantung dari tujuan iklannya (advertising objective).
Hanya pertanyaan yang sering timbul apakah pengiklan dan biro iklannya menetapkan advertising objec­tives? Banyak memang perusahaan yang secara rigid menetapkannya, tetapi hasil diskusi saya dengan banyak perusahaan ternyata lebih banyak perusahaan yang menjawabnya tidak tabu. Kalau kondisinya demikian tentu muncul pertanyaan lagi: apanya yang harus diukur?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda